22 Januari 2010

Forex, Halal atau Haram ???

A. Merujuk pada fatwa DSN Majelis Ulama Indonesia mereka mengeluarkan ijtihad kolektif sebagai berikut:

Dewan Syariah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF).

Pertama : Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. 1.  Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
    2. 2.  Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
  1. 3.  Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan 
  2.       secara tunai (at-taqabudh).
  3. 4.  Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku
  4.      pada saat transaksi dan secara tunai.

    Kedua : Jenis-jenis transaksi Valuta Asing

a.  Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh,karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional.

 

b. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2×24 jam sampai dengan satu tahun.Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).

 

c. Transaksi SWAP, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

 

d. Transaksi OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M

 

B. Pendapat yang mengatakan forex adalah halal karena dianalogikan dengan Perdagangan Komoditas Berjangka yang ada perjanjian jelasnya.

 

Ijtihad oleh Prof. Dr. Juhaya S. Praja

 

Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa’il almu’ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu, status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah. Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih, yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang pasti.
Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa’I la tatanahi. Artinya, nash hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.


Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan, fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni: waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan. Artinya, kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; bukan dalam alam pemikiran atau alam idea. Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan al-adl.


Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas.


Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini, sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK.

 

Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil.
Bay’ al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi itu. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan (berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut:

 

a. Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi. Unsur-unsur utama di dalam bay’ al-salam adalah:
1.    Pihak-pihak pelaku transaksi (‘aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim 

        ilaih. 
2.    Objek transaksi (ma’qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar

       (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih).
3.    Kalimat transaksi (Sighat ‘aqad), yaitu ijab dan kabul.
       Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul

       dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka.  

       Karena itu, ulama Syafi’iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di 

       dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa ‘aqd al-salam adalah bay’ al-

       ma’dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (bay).


b. syarat-syarat.

• Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (an yakun fi jinsin ma’lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar, tempat penyerahan.
• Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah, Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua, kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram, pond, dst. Ketiga, kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa, baik sedang atau buruk.


Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud menghilangkan jahalah fi al-’aqd atau alasan ketidaktahuan kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang akan merusak nilai transaksi.


Keempat, kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak kulluh.


Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu ditinggalkan keseluruhannya. Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bay’ al-salam.
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Syari’ah dan Filsafat Hukum Islam, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung.

 

Melihat kedua fatwa A dan B tersebut seolah terdapat pilihan bagi kita untuk memilih apa yang mantap di hati kita. Pilihan kita nantinya harus kita pertanggungjawabkan sendiri pada Allah, oleh sebab kita sudah tahu dalil yang diambil.
Saya disini akan mencoba berpendapat dan mengajukan hasil pemikiran tentang dua fatwa itu. Semoga Allah meridhoi, sebab masalah yang dihadapi disini adalah berat, yaitu jika tidak halal maka hukumnya haram, bila sampai kita ambil pendapat halal padahal sebenarnya menurutNya haram, maka bisa berabe. Karena daging yang kita makan akan menjadi terkotori semua akibat keharaman hasil usaha kita.


Dalam masalah ini, penulis menyandarkan pijakan pada hadis berikut:
Emas dengan Emas ( ditukar atau diniagakan) , perak dengan perak, gandum dengan gandum, tamar dengan tamar, garam dengan garam mestilah sama timbangan dan sukatannya, dan ditukar secara terus ( pada satu masa/ tunai) dan sekiranya berlainan jenis, maka berjual-belilah kamu sebagaimana yang disukai” ( Riwayat Muslim, no 4039 no hadith , 11/9 ) .

 

Dari hadis itu, jika dimaknakan secara harfiah adalah sudah jelas. Barang yang dimaksud adalah emas, perak, gandum, tamar,dan garam. Tetapi, jika menyandarkan pada pengertian harfiah saja maka kacaulah pengambilan hukum kita. Dalam pengambilan hukum ada suatu istilah qiyas, nah yang menjadi penting disini ada golongan ulama yang menqiaskan emas adalah mata uang karena pada konteks nabi mengucapkan hadis itu, emas menjadi mata uang jasirah arab.


Jadi, yang lebih kita tekankan adalah pada hukum boleh tidaknya penyerahan mata uang pada future atau masa depan dengan perjanjian sekarang seperti pada Perdagangan Berjangka Komoditi ( PBK ). Masalah itu judi ataukah tidak, adalah relatif tiap – tiap orang menganggapnya, jadi untuk menyandarkan pada hal itu akan menuai banyak sekali perbedaan pendapat. Kita ambil hukum yang jelas saja, apakah perdagangan uang tergolong PBK? Saya lebih memandang perdagangan uang tidak boleh kita jadikan PBK. Coba kita menafsirkan hadis diatas, bahwa kenapa baginda Nabi menyebut emas dan perak harus dipertukarkan dengan yang sama nilainya dan waktunya? Hal ini karena pada kondisi lingkungan Nabi hidup itu, mata uang atau alat tukar yang digunakan adalah emas dan perak. Nabi tidak ingin terjadi gonjang ganjing dalam perekonomian, seperti halnya dalam bidang pangan, dimana makanan pada masyarakat saat itu adalah gandum. Nah jika sabda nabi mengharamkan hal itu pada saat itu, maka kita harus menerapkannya juga pada hukum alat tukar kita atau yang sekarang adalah mata uang, baik itu rupiah, ringgit, atau dollar. Mata uang harus secara tegas kita larang untuk diperjualbelikan secara future atau seperti yang berlaku pada Perdagangan Berjangka Komoditi. Pengambilan hukum ini akan sama dengan haramnya heroin yang pada jaman dahulu waktu jaman Baginda Nabi hidup tidak ada. Ulama mengambil kesimpulan haram karena efeknya bersifat memabukkan bagi penggunanya.


Nah dari pendapat saya tersebut dengan menyebut nama Allah, saya mengajak sobat – sobat untuk melihat secara obyektif, pertimbangkanlah masak – masak. Sayyidina Umar sendiri mengatakan tinggalkanlah yang meragukanmu. Untuk itu saya mengambil pendapat dari fatwa MUI yang tidak menghalalkan secara menyeluruh terhadap transaksi forex, karena didukung oleh banyak ijtihad ulama dan bukan merupakan ijtihad solo, tapi ijtihad kolektif ulama. Ulama adalah pewaris Kenabian, jika tidak menemukan solusi permasalahan bertanyalah pada mereka yang benar – benar Arif Billah. Wallahu A’lam Bisshowab

 

Sumber  http://heru-stan.blogspot.com

0 komentar: